BAB I
PENDAHULUAN
Sebuah istilah yang tidak akan pernah terpisah dalam kajian filsafat adalah istilah “kebenaran”. Pernyataan demikian ini sangat wajar, sebab fungsi utama dari filsafat adalah mencari kebenaran dengan cara berpikir secara radikal dan sungguh-sungguh. Dalam proses berfilsafat, tentunya terdapat metode atau proses-proses yang harus dilalui oleh seseorang untuk menemukan hakikat dari suatu kebenaran.
Salah satu obyek kebenaran adalah sebuah pernyataan. Sementara untuk mengetahui benar dan tidaknya sebuah statemen maka diperlukan suatu pengetahuan lebih dalam tentang apa yang disebut dengan pernyataan. Dalam term ilmu logika, pernyataan disebut sebagai proposisi. Sebelum melangkah jauh tentang bagaimana cara kerja untuk mencari sebuah kebenaran dalam proposisi, ada baiknya terlebih dahulu mengetahui konsep proposisi.
Membicarakan tentang proposisi pun tidak akan pernah lepas dari sebuah “keputusan”. Mengingat artikulasi dari keputusan dalam term ilmu logika adalah suatu pernyataan akal budi tentang persesuaian dan ketidaksesuaian antara dua gagasan, maka langkah utamanya adalah dengan menganalisis terlebih dahulu tentang proposisi, sebab ketika seseorang melakukan sebuah keputusan, sementara keputusan itu diekspresikan dalam bentuk kata-kata, maka sebenarnya itu merupakan sebuah proposisi.
Untuk itulah dalam makalah singkat ini kami akan mencoba mengeksplorasi tentang konsep proposisi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
SEPUTAR PROPOSISI
1. Hakikat Proposisi
Sebagaimana yang telah disinggung dalam pendahuluan di atas, bahwa keputusan adalah pernyataan tentang akal budi tentang sesuai dan tidaknya dua gagasan. Sementara jika kita menyatakan kegiatan mental melalui kata-kata, maka secara tidak sadar kita telah membuat suatu proposisi. Jadi yang dimaksud dengan Proposisi adalah pernyataan atau ekspresi verbal dari sebuah keputusan. Dengan kata lain, proposisi adalah sebuah pernyataan atau Statemen di mana suatu hal itu diakui atau diingkari. Artinya, proposisi dapat bersifat mengakui atau meneguhkan hubungan antar gagasan (afirmatif/afirmasi) dan dapat juga mengingkari atau menolak hubungan antar gagasan tersebut (negatif/negasi).[1]
Dalam sebuah proposisi meniscayakan suatu term. Term adalah kata atau rangkaian kata yang berfungsi sebagai subyek atau prediket dalam suatu kalimat/proposisi. Dalam ilmu logika, term bisa berbentuk tunggal dan majemuk. Term tunggal adalah term yang terdiri dari satu kata saja, misal futsall, volley atau tenis. Sementara term majemuk adalah term yang terdiri dari dua kata atau lebih, misal lapangan Futsall, tenis meja dan sambal goreng.[2] Dalam bahasa arab, istilah term majemuk ini biasa disebut dengan “Tarkib Idhofiy” yakni susunan lafadz yang terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih (lafadz yang bersandar dan yang disandarkan), seperti term “cincin besi”.[3]
Sebuah proposisi disebut mengakui atau meneguhkan hubungan antar gagasan jika di dalamnya terdapat term yang mengakui term yang lain. Singkatnya, sebuah proposisi itu dianggap afirmatif, ketika term prediket mengakui term subyek.[4] Sebagai salah satu contoh, marilah kita perhatikan pernyataan ini, “Neng Roihana cantik”. Dalam proposisi ini term cantik disebut term prediket, sementara term Neng Roihana disebut term subyek. Proposisi ini bersifat afirmatif, sebab prediket memberikan pengukuhan pada subyek. Lain halnya jika dikatakan “Kang Jacky tidak jelek”. Dalam proposisi ini, term tidak jelek dipisahkan dengan term kang Jacky, sebab term tersebut tidak sesuai dengan realitas kepribadiannya. Jadi dengan adanya kata tidak, gagasan tentang kang Jacky dipisahkan dengan sifat jelek. Di sini prediket mengingkari subyek. Inilah yang kemudian disebut dengan proposisi negatif.
Suatu proposisi selalu menyatakan pengakuan atau pengingkaran sesuatu tentang sesuatu yang lain. Dalam setiap proposisi selalu terdapat tiga unsur berikut ini: Term subyek adalah hal yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan. Term subyek dalam sebuah proposisi disebut subyek logis. Ada perbedaan antara subyek logis dengan subyek dalam sebuah kalimat. Tentang subyek logis harus ada penegasan atau pengingkaran sesuatu tentangnya.Term predikat adalah isi pengakuan atau pengingkaran itu sendiri (apa yang diakui atau diingkari). Term predikat dalam sebuah proposisi adalah predikat logis, yaitu apa yang ditegaskan atau diingkari tentang subyek, dan Kopula adalah penghubung antara term subyek dan term predikat dan sekaligus memberi bentuk (pengakuan atau pengingkaran) pada hubungan yang terjadi. Jadi, kopula memiliki tiga fungsi, yakni: menghubungkan subyek dan predikat, menyatakan bahwa subyek sungguh-sungguh eksis, dan menyatakan cara keberadaan (eksistensi) subyek.
Yang perlu diingat bahwa dalam bahwa dalam bahasa Indonesia kopula dalam suatu proposisi tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. “Amir nakal” adalah proposisi, karena nakal (term predikat) diakui tentang Amir (term subyek), meskipun kedua term tersebut tidak dihubungkan secara eksplisit oleh kopula.
Semua proposisi dapat disebut kalimat atau dalam istilah ilmu bahasa arab (Nahwu) disebut sebagai Kalam.[5] Namun, tidak setiap kalimat dapat disebut proposisi. Jika sebuah kalimat menyatakan pengakuan ataupun pengingkaran tentang suatu hal, maka yang demikian bisa disebut sebagai proposisi. Tetapi, jika pernyataan tersebut tidak mengandung pengukuhan maupun penolakan terhadap sesuatu, maka tidak bisa disebut sebagai proposisi. Misal, ketika seseorang meluapkan emosi “Hai Jangan Sakiti Hatiku” atau ketika seseorang menyatakan “Siapakah gerangan gadis manis berkerudung merah itu?”, maka pernyataan-pernyatan tersebut belum bisa dianggap sebagai sebuah proposisi, sebab didalamnya tidak mengandung pengukuhan ataupun penolakan antar dua gagasan. Kedua pernyataan tersebut merupakan pernyataan perintah dan pernyataan tanya. Secara sederhana, yang dapat dianggap sebagai proposisi adalah khusus pernyataan deklaratif yang mengandung unsur afirmasi atau negasi.[6] Dalam disiplin ilmu sastra Arab istilah ini sering disebut dengan Kalam Khabariy.[7]
2. Klasifikasi Proposisi
Dalam ilmu Logika, setidaknya terdapat tiga macam proposisi. Yaitu proposisi kategoris, hipotesis dan modalitas.
A. Proposisi Kategoris
Proposisi kategoris adalah proposisi yang menyatakan secara langsung tentang cocok dan tidaknya hubungan yang ada di antara term subyek dan term obyek. Disebut kategoris, karena proposisi ini menyatakan tanpa disertai dengan syarat.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam sebuah proposisi tidak lepas dari tiga unsur, yaitu subyek, prediket dan kopula. Dalam hal ini, kopula menjadi unsur formatur sehingga hubungan ketiganya membentuk struktur logis proposisi. Meski demikian, banyak proposisi yang tidak menampakkan struktur logisnya secara jelas. Sebagai contoh: “Hamdan mencintai istrinya”, dalam proposisi ini secara sekilas, tidak memenuhi unsur proposisi dikarenakan didalamnya tidak terdapat kopula. Padahal, dalam setiap proposisi diharuskan adanya kopula. Namun, sebenarnya pernyataan tersebut sudah terdapat kopula yang terkandung dalam kata “mencintai istrinya”, kata ini hakikatnya mempunyai ekuivalensi dengan “adalah pecinta istrinya”. Dengan demikian, kopula dalam proposisi tersebut adalah kata “adalah”.[8]
Kualitas Proposisi Kategoris
Kualitas atau karakteristik dari proposisi kategoris sangat bergantung pada kopula. Jika kopulanya mempersatukan dan menghubungkan antara subyek dan prediket, maka disebut proposisi afirmatif, contoh “Semua manusia akan mati”. Sebaliknya, jika kopulanya memisahkan antara subyek dan prediket, maka disebut proposisi negatif.
Kuantitas Proposisi Kategoris
Kuantitas sebuah proposisi kategoris terletak pada hakikat proposisi sebagai partikular atau universal. Jadi, sebuah proposisi disebut universal jika term subyek adalah universal, contoh “Semua mahasiswa wajib patuh pada dosen”. Akan tetapi, jika term subyeknya partikular, maka disebut proposisi partikular, contoh “Laptop Kasiman dicuri maling”.[9]
B. Proposisi hipotesis
Dalam proposisi ini, prediket menerangkan obyek dengan menggunakan suatu syarat. Dalam arti, proposisi ini tidak bersifat mutlak atau dalam bahasa lain disebut dengan proposisi yang bersifat fleksibel.[10]
Jenis proposisi ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni proposisi hipotesis kondisional dan proposisi hipotesis disyungtif dan proposisi hipotesis konjungtif.
Pertama, Proposisi hipotesis kondisional proposisi yang menyatakan suatu kondisi ketergantungan antara dua gagasan. Biasanya dirumuskan dengan “jika.......maka....”, contoh “Jika anda malu bertanya, maka anda akan tersesat”.
Kedua, Proposisi hipotesis disyungtif adalah proposisi yang subyek atau prediketnya terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait. Biasanya dirumuskan dengan “Atau....atau...”, contoh “Dia atau adiknya yang akan saya nikahi”.
Ketiga, Proposisi Konjungtif yaitu proposisi yang menolak gagasan bahwa dua prediket yang bersifat kontraris dapat menjadi subyek benar bagi subyek sama serta pada waktu yang sama. Proposisi ini menolak kesertaan kemungkinan dua buah alternatif. Contoh “anda tidak dapat sekaligus duduk dan berlari pada saat yang bersamaan”.[11]
C. Proposisi Modalitas
Proposisi modalitas adalah proposisi yang menjelaskan tentang tingkat kepastian di mana prediket diteguhkan atau diingkari tentang subyek. Proposisi ini, terbagi menjadi empat macam.
Pertama, proposisi modalitas mutlak, yaitu prediket tidak bisa berfungsi lain kecuali menjadi bagian dari subyek, contoh “Bola itu bulat”.
Kedua, proposisi modalitas kontingen, yakni prediket masih memungkinkan difungsikan untuk subyek lain, seperti “Mahasiswa tidak boleh malas” dan “Semua burung dapat terbang”.
Ketiga, proposisi modalitas yang mungkin, adalah proposisi yang menyatakan aspek kemungkinan hubungan antara subyek dan prediket, misal “Pasien itu dapat meninggal dunia sewaktu-waktu”.
Keempat, Proposisi modalitas yang mustahil, ialah proposisi yang menunjukkan bahwa prediket merupakan sesuatu yang mustahil bagi subyek, contoh “Sebuah lingkaran itu tidak mungkin berbentuk segi empat”.[12]
3. Kilas Proposisi dalam Ilmu Mantiq
Dalam ilmu mantiq istilah proposisi disebut dengan qadliyah. qadliyah dalam ilmu mantiq diartikan sama dengan term kalam dalam ilmu Nahwu. Karena itulah, qadliyah berarti serangkaian kata-kata yang mengandung pengertian atau hukum, seperti “masjid adalah tempat ibadah orang muslim”. Sama halnya dengan konsep yang ada dalam ilmu logika, qadliyah juga hanya mengkhususkan pada kalam-kalam yang bersifat informatif (Khobariy). Dengan demikian kalam yang bersifat non-informatif tidak dapat masuk dalam kategori qadliyah, sebab di dalamnya tidak mengandung unsur benar dan dusta. Padahal, dalam qadliyah mengaharuskan adanya ihtimal benar dan dusta. Jika qadliyah tersebut sesuai dengan realitas maka disebut “Qadliyah Muthabiq lil Waqi’”, sementara, jika qadliyah itu tidak sesuai dengan realitas maka disebut “Qadliyah Ghoiru Muthabiq lil Waqi’”.[13]
Klasifikasi Qadliyah
Para pakar manthiq mengklasifikasikan qadliyah ke dalam dua bagian, yaitu Qadliyah Hamliyah” dan “Qadliyah Syartiyah”.
Pertama, Qadliyah hamliyah, adalah qadliyah yang menerangkan terjadinya suatu ketetapan hukum tanpa disertai adanya syarat atau dengan kata lain status hukumnya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.[14] Qodliyah ini dalam ilmu logika disebut proposisi kategoris.
Qadliyah ini setidaknya terbagi menjadi dua macam, yaitu “Qadliyah Hamliyah Syakhsiyah” dan“Qadliyah Hamliyah Kulliyah”. Qadliyah hamliyah syakhsiyah adalah qadliyah yang maudlu’nya berupa sesuatu tertentu atau salah satu dari isim ma’rifat (isim yang menunjukkan makna khusus) seperti “Kamu adalah mahasiswa pasca sarjana Unisma”.
Sementara qadliyah hamliyah kulliyah adalah qadliyah yang subyeknya berupa lafadz kulliy (universal) dan Mahmulnya (Prediketnya) melekat pada seluruh satuan subyek. Contoh “Semua makhluk hidup butuh makanan”. Qadliyah jenis ini terbagi lagi menjadi dua bagian, yakni “Qadliyah Hamliyah Kulliyah Musawwarah” dan “Qadliyah Hamliyah Kulliyah Muhmalah”. Qadliyah jenis pertama adalah qadliyah yang dalam struktur kalimatnya dimulai dengan kata-kata yang menunjukkan adanya batasan (Suur). Contohnya, “Semua santri sedang tidur”. Sedangkan qadliyah jenis kedua adalah qadliyah yang dalam struktur kalimatnya tidak dimulai dengan kata yang mengindikasikan adanya batasan. Seperti, “Murid-murid sedang berolahraga”.[15]
Kedua, Qadliyah Syarthiyyah, yaitu suatu qadliyah yang di dalamnya menjelaskan adanya ketergantungannya dengan suatu hukum. Dengan kata lain, qadliyah ini adalah qadliyah yang status hukumnya tergantung sesuatu yang lain. Qadliyah ini, biasanya ditandai dengan adat syarat semisal in, idza, kullama, mataa, mahma, haitsuma dll. Contoh, “Jika hujan turun, saya tidak jadi pergi ke mall”.[16]
Qadliyah ini terbagi menjadi dua bagian, yakni Qadliyah Syarthiyah Muttashilah dan Qadliyah Syarthiyyah Munfashilah. Qadliyah jenis pertama ialah dua qadliyah yang keadaan penghubung yang keadaan penghubung di antara keduanya memeliki pengertian bahwa satu bagian seiring dan bersamaan dengan yang lain. Artinya, jika bagian yang satu ada, maka bagian kedua pun ada. Contoh, “Setiap kali awan mengeluarkan kilat, maka suara halilintar akan terdengar”.
Sedangkan qadliyah jenis kedua adalah dua qadliyah yang keadaan di antara keduanya memiliki pengertian bahwa sejenis ketidakcocokan. Artinya, jika bagian yang lain terpenuhi maka yang laintidak ada, begitu juga sebaliknya. Contoh, “Cak men adakalanya di kelas dan adakalnya di luar kelas”, jelasnya, kedua qadliyah yang dirangkai ini berlawanan yang dalam istilah mantiq disebut sebagai Tabayun atau ‘Inad.
Qadliyah syarthiyah munfashilah ini terklasifikasikan lagi menjadi tiga bagian, yaitu Mani’ Jami’, Mani’ Khuluw dan Mani’ Jami’ wa Khuluw.
Secara etimologi, mani’ Jami’ artinya melarang berkumpul, dalam term mantiq ia bermakna suatu qadliyah yang antara Muqaddam dan Taalinya tidak mungkin berkumpul dalam satu waktu yang bersamaan. Contoh “Rizka adalanya berdiri dan adakalanya duduk”.
Mani’ Khuluw artinya melarang kosong, artinya antara Muqaddam dan Taalinya tidak mungkin kosong atau tidak mungkin dipisahkan. Contoh, “Adakalanya Ervi berada di lautan dan adakalanya tidak tenggelam”. Hal ini boleh terjadi pada Ervi, sebab pada saat di laut ia sedang naik kapal atau perahu.
Mani’ jami’ wa khuluw, adalah qadliyah yang antara Muqaddam dan Taalinya tidak bisa dikumpulkan secara sekaligus dan tidak bisa dipisahkan secara sekaligus pula. Contoh, “Cak Manto adakalanya hidup dan adakalanya mati.” Pernyataan seperti ini termasuk jami’ wa khuluw, sebab tidak mungkin terjadi bahwa Cak Manto itu hidup dan juga mati, begitu juga sebaliknya Cak manto tidak mungkin tidak hidup dan tidak mati.[17]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagaimana pemaparan di atas bahwa membicarakan tentang logika tidak akan pernah terlepas daari apa yang disebut sebagai sebuah keputusan. Sementara dalam mengekspresikan sebuah keputusan, tentunya dibutuhkan kata-kata, lalu kata-kata itu pada akhirnya membentuk sebuah ungkapan. Dari ekspresi ungkapan otak inilah kemudian muncul apa yang disebut dengan proposisi atau yang dalam bahasa mantiq disebut dengan istilah qadliyah.
Sebenarnya antara ilmu logika secara umum dan ilmu mantiq secara khusus, keduanya mempunyai substansi dan esensi yang sama yakni sebuah disiplin keilmuan yang berusaha mengarahkan untuk berfikir secara logis dan sistematis. Pembahasan yang ada dalam keduanya pun secara umum boleh dibilang sama. Perbedaan hanya terletak pada istilah-istilah saja. Wallahu A’lam.
[5] Kalam adalah Lafadz (kata) yang memberikan faidah seperti pernyataan “beristiqomalah”. Lihat selengkapnya pada Hasyiyah Shobban Syarah Alfiyah, juz I, hlm. 56.
[7] Dalam Disiplin ilmu Sastra Arab, Kalam atau yang lebih sering kita sebut dengan kalimat, terbagi menjadi 2 bagian. Pertama, Kalam Khobary yaitu kalam yang mengandung unsur benar dan dusta, contoh “Neng Qorry adalah gadis yang pintar dan cantik”. Kedua, Kalam Insya’iy yakni sebuah kalam yang tidak mengandung unsur benar dan dusta, seperti kalimat “Berdirilah!” atau “Siapa dia?” Jadi, dalam hal ini yang dapat dianggap sebagai proposisi adalah khusus kalam khobariy saja bukan kalam insya’iy. Lebih jelas, lihat Jawahir al-Balaghah, Karya syech Ahmad al-Hasyimi, hlm 53.
[14] Abdur rahman al-Akhdhory, Sullamul Munauraq, terjemah ilmu Mantiq, (t.t: al-Ma’arif, 1987), hlm. 32.
[16] Abdur rahman al-Akhdhory, Sullamul Munauraq, terjemah ilmu Mantiq, (t.t: al-Ma’arif, 1987), hlm. 36.